Selasa, 02 September 2008

Eduard Fonataba – Berthus Kyeuw Kyeuw MENANGKAP PELUANG OTSUS


Oleh : Walhamri Wahid
Otonomi Khusus (Otsus), adalah sebuah konsep penyerahan sebagian kewenangan yang dahulu di monopoli oleh pusat kepada daerah (desentralisasi), dimana di era Otsus ini daerah benar – benar diberikan kewenangan untuk mengambil dan menerapkan kebijakan – kebijakan yang menurut mereka lebih relevan dan mampu menjawab apa yang menjadi pergumulan masyarakatnya.

Di Provinsi Papua sendiri, disaat beberapa daerah atau elite – elite politik menyibukkan diri dengan segudang permasalahan yang bernuansa politis mengenai pro kontra Otsus, dimana seperti banyak dikatakan oleh orang bahwa Otsus adalah bargaining, dimana terkadang beberapa pihak berusaha memaksakan kehendaknya dengan berlindung atau menjadikan Otsus sebagai “barang jualan”, tidak demikian yang terjadi di Kabupaten Sarmi.

“Energi kami tercurah hanya untuk bagaimana membangun daerah Sarmi ini, ngapain kita menyibukkan diri dalam lingkaran polemic semacam itu,” tegas Berthus Kyeuw – Kyeuw, BA, MPA, Wakil Bupati Sarmi yang mengaku telah berkomitmen dengan Bupati Drs. Eduard Fonataba, MM untuk lebih mendekatkan “tangan – tangan pemerintah” yang merupakan kepanjangan “tangan Tuhan”, karena menurutnya peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan, dan perekonomian yang mapan adalah jawaban dari segala macam perjuangan dan upaya – upaya “memancing di air keruh” yang dilakukan oleh segelintir masyarakat.

Sebenarnya masyarakat di tingkat bawah (akar rumput) tidak terlalu memikirkan tentang berbagai polemic yang terjadi di Papua, namun rakyat hanya menginginkan kapan mereka bisa hidup lebih layak, kapan mereka bisa memiliki rumah yang sehat, kapan anak sekolah mereka bisa bersekolah tanpa dikejar – kejar biaya sekolah, yang intinya semua bermuara pada kesejahteraan.

“Dengan Otonomi Khusus inilah, semua keinginan masyarakat itu harus kita jawab”, ujar Eduard Fonataba sembari memaparkan bahwa dirinya dan Berthus Kyeuw Kyeuw lebih focus bagaimana menangkap peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditawarkan oleh Otsus.

Apa yang dikatakan dua orang petinggi di Kabupaten Sarmi tersebut memang tidak hanya sebatas jargon atau retorika belaka, menjelang 1 tahun kepemimpinan Eduard Fonataba dimana ketika ia dilantik bersama Berthus Kyeuw Kyeuw pada 26 Agustus 2005 yang lalu beberapa terobosan telah dilakukan, indicator yang nampak adalah di Tahun Anggaran 2005 yang lalu Belanja Publik Kabupaten Sarmi lebih besar dari Belanja Aparaturnya, mencapai ………….

Alokasi dana yang berpihak kepada masyarakat, tersebut menunjukkan komitmen keduanya, terlebih lagi hal tersebut terimplementasi di lapangan, meski di Tahun 2006 ini Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten Sarmi mencapai 426 Milyar lebih, akan tetapi tidak ada perubahan drastic khususnya dalam hal penyediaan fasilitas penunjang bagi para pejabat di Sarmi.

Semua masih seperti dulu, Bupati masih menggunakan sebuah kijang berwarna abu – abu yang pada bulan April nanti genap berusia 3 tahun (dipakai sejak masih menjabat carateker), demikian juga dengan Wakil Bupati juga lebih memilih mengendarai sebuah Panther plat kuning ketika mobilnya sedang dalam perbaikan selama beberapa bulan, dan rasanya hal yang cukup membuat kita terheran – heran adalah kesediaan para Kepala Dinas maupun Kepala Bagian yang berseliweran hanya mengendarai sebuah sepeda motor merk Honda dari berbagai varian.

Kepemimpinan sederhana yang dikembangkan justru berbanding terbalik dengan jam kerja kedua petinggi di Sarmi tersebut, hampir setiap malam, setelah melayani masyarakat pada pagi hingga siang hari, malam harinya mulai dari pukul 20.00 WIT – selesai di depan pintu kantor Bupati maupun Wakil Bupati masih terlihat antrian masyarakat.

“Bapak ini termasuk kategori gila kerja, saya sendiri terkadang kewalahan, karena mau istirahat tiba – tiba ada panggilan untuk melayani kebutuhan masyarakat yang mendadak”, ujar seorang perempuan berusia 30-an yang mengaku bernama Yosina dan biasa menangani urusan keuangan Bupati, dan tidak hanya pagi kadang juga malam hari tambahnya lagi ketika ditemui di halaman depan Kantor Bupati pada hari libur namun ia mengaku baru saja menyediakan sejumlah dana kepada masyarakat yang meminta bantuan.

Dalam setiap arahannya di depan masyarakat, Fonataba selalu menekankan perlunya peningkatatan kinerja aparat maupun kesadaran masyarakat untuk membangun daerah ini, karena Otsus yang diberikan kepada orang Papua bukan untuk memanjakan, namun sebaliknya sebagai alat pemacu dan pemicu agar orang Papua mau bekerja keras dan menangkap peluang yang diberikan pemerintah dengan Otsus ini demi peningkatan kualitas hidup.

“Ini uang rakyat kok, sudah sepantasnya rakyat menikmatinya,” komentar singkat Eduard Fonataba ketika ditanyakan sehubungan banyaknya permintaan bantuan yang diajukan oleh masyarakat untuk kebutuhan yang sifatnya pribadi sekalipun.

Kita akan terheran – heran bila di Kabupaten Sarmi Bupati akan memberikan bantuan diatas 10 juta kepada masyarakat biasa yang ingin berobat ke Kota Jayapura, atau mencarter pesawat untuk membawa warganya yang sedang “koma”, dimana dari beberapa informasi yang berhasil di himpun wartawan Suara Papua, bantuan insidentil kepada masyarakat di Tahun 2006 ini sampai dengan pertengahan bulan ke- 2 (Februari) sudah hampir mencapai 2 milyard rupiah.

Hal ini bila dilihat dari sisi pendistribusian dana merupakan sesuatu yang membanggakan, karena masyarakat bisa merasakan apa manfaat dari pemekaran itu sendiri, hanya saja ke depan bila tidak selektif, justru akan membentuk pola pikir dan sikap negative di masyarakat yang cenderung “malas”, dan mengharapkan bantuan dari Pemerintah terus, meski pada dasarnya untuk itulah sebuah Negara (pemerintah) ada.

Namun paling tidak dana – dana bantuan tersebut diberikan kepada masyarakat untuk tujuan produktif bukan konsumtif, namun bukan berarti tidak ada dana untuk usaha perekonomian masyarakat yang produktif.

Melalui Dinas Perekonomian Daerah seperti dijelaskan oleh Kadinas Perekda yang juga menjabat sebagai Plh. Sekretaris Daerah di tahun 2005 hingga kini Ir. Alberthus Suripno, pemerintah di tahun 2004 menyediakan dana bantuan usaha kecil dan menengah sebesar 1 Milyard lebih, sedangkan di tahun 2005 naik menjadi 2 Milyar lebih dan di tahun 2006 ini seperti disampaikan Bupati maupun Wakil Bupati dalam setiap kesempatan akan dinaikkan menjadi 5 Milyard dengan pendistribusian yang lebih menyentuh distrik – distrik luar (Mamberamo Hulu, Mamberamo Hilir, Mamberamo Tengah, Pantai Barat, Tor Atas, Mamberamo Tengah Timur, Apawer Hulu, Rufaer).

“di tahun ini kita akan lebih melihat usaha masyarakat di distrik - distrik yang belum terlalu menikmati, karena distrik Sarmi selama ini sudah cukup menerima bantuan yang banyak, jadi perlu ada pemerataan”, ujar Fonataba.

Penguatan masyarakat melalui pendistribusian dana juga diimbangi dengan penyediaan infra struktur baik itu berupa sarana pendidikan, kesehatan, maupun sarana penunjang aktivitas pelayanan public lainnya, memang belum memenuhi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tapi paling tidak beberapa peningkatan bisa dilihat di beberapa kampung yang dahulu sekolahnya hanya terdiri dari 3 lokal saat ini telah bertambah menjadi 6 lokal.

“Kalau ada yang bilang tidak ada peningkatan di sector pendidikan, itu berarti buta, coba lihat di Bagaiserwar dahulunya hanya 3 lokal sekarang sudah 6 lokal”, ujar Bupati sambil menyebut beberapa nama – nama desa lainnya.

Pembangunan Kota Baru Petam merupakan salah satu pilot project Bupati Sarmi yang berorientasi lingkungan dan visi jauh ke depan, dimana sebuah hutan belantara yang dahulunya hanya dilalui truk – truk logging milik perusahaan HPH kini telah “disulap” menjadi sebuah kota baru, benar – benar baru karena tidak ada pemukiman atau perkampungan besar disana.

Keberhasilan itu sendiri tidak dibangun di atas segala kemudahan, namun hampir setiap langkah yang dilakukan kedua petinggi Sarmi dan jajarannya, masih selalu diterpa isu – isu miring dan tak sedap baik dalam sisi penggunaan dana maupun pemanfaatannya, namun semua itu berhasil di tepis dengan hasil pemeriksaan baik dari Tim BPKP maupun Kejaksaan.

“tidak ada korupsi atau pekerjaan fiktif di Sarmi, tapi kalau kesalahan administrasi kami memang mengakui, namun itu semua karena kondisi dan keterbatasan ruang dan waktu sehingga mengharuskan kami menerabas beberapa prosedur administrasi demi menjawab kebutuhan masyarakat,” ujar Fonataba ketika melaporkan setahun kepemimpinannya dalam Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) Partai Golkar sebagai partai pengusung keduanya.

Pola pemerintahan yang “tidak anti kritik” juga merupakan salah satu ciri khas yang ditonjolkan oleh Pemerintah, namun bukan berarti kebebasan bersuara tidak dibarengi dengan kemauan mendengar pemerintah, justru sikap terbuka yang diterapkan Fonataba telah terbukti dari beberapa tindakan yang diambil olehnya dengan memberhentikan “anak buahnya” yang dinilai telah melenceng seperti yang terjadi pada seorang Kadistrik di wilayah Mamberamo yang dicopot dari jabatannya.

“kritik haruslah membangun dan objektif, tidak bisa kita mengkritik kekurangan tanpa pernah mengakui adanya kelebihan yang terlihat, orang tua kita bilang, gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan terlihat”, ujar Fonataba dalam suatu acara.

Sebagai daerah baru yang belum genap berusia setahun (definitive), Sarmi merupakan salah satu contoh daerah yang berhasil menangkap peluang Otsus yang diberikan pusat kepada daerah, sehingga kewenangan penuh pada seorang pemimpin benar – benar “people oriented” bukan “communal oriented” apalagi individual. Hal itu bisa, karena pemimpin menyadari untuk apa dan bagi siapa ia ada di daerah tersebut. ***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Luar biasa, kalo semua pemimpin Papua mencontoh apa yang siperlihatkan oleh petinggi Sarmi, yang katanya tidak pernah ke Jakarta, padahal saya biasa lihat petinggi Papua berseliweran di hotel - hotel mewah di Jakarta, yang biayanya sehari bisa nyampe 2 juta - 5 juta. kalo Papua mau berubah harus dari pimpinannya dulu yang berubah ya !! Ayo Sarmi jangan berhenti !!!