Senin, 01 September 2008

DARI OJEK, WARTAWAN, KINI MENGELOLA MEDIA DAN AKTIVIS LSM

Kisah ini aku bagi ke rekan - rekan muda di seluruh Indonesia, bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi ada nilai - nilai positip yang bisa kita petik dari kisah hidupku, aku memang bukan orang terkenal atau tokoh hebat tapi aku adalah salah satu contoh dari potret kegagalan yang buram yang telah melalui sebuah proses untuk belajar memberi nilai lebih dalam diri, hidup, dan orang lain

Walhamri adalah nama yang diberikan orang tuaku sejak aku "mbrojol" ke muka bumi 20 Mei 1979 yang lalu, sedangkan Wahid nama belakang yang aku copot dari nama Ayahku (Abdul Wahid), sebagai tanda penghargaan dan cinta kasihku atas semua pengorbanan dan perjuangannya dalam mengantarkanku ke garis pembatas antara orang - orang terbuang dan tak berdaya dengan orang - orang berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Karena hanya dengan cara itu aku berkesempatan membalas semua apa yang sudah ia lakukan selama masih hidup dalam balutan kemiskinan, dan aku belum sempat memberikan balasan apapun hingga kini kecuali doa .....doa, dan doa..... yang aku harap Tuhan tidak melihat siapa pengirim doa itu, tapi kepada siapa doa itu akku kirimkan.

walhamri wahid, itulah nama jualku kini, atau biasa aku di panggil "AMRI", aku ingin menjadi icon bagi semangat pemberontakan terhadap ketidakadilan, aku ingin menjadi seperti apa yang aku inginkan dan bukan menjadi seperti apa yang mereka inginkan, icon sebuah ketidakberdayaan manusia yang berhasil lepas dan menapaki tangga - tangga kesuksesan satu - persatu meski harus jatuh bangun untuk semua itu. Mahalnya ongkos kehidupan yang kita keluarkan, sebanding dengan nikmatnya kehidupan yang akan kita peroleh.

Aku menamatkan SD Inpres Koya Timur I (daerah transmigrasi di Papua), dengan predikat terbaik ketika itu dan dibarengi dengan jerih payah sebagai penjual es lilin keliling kampung, jadi pemikul kayu dari dalam hutan, penggembala ternak, dan sesekali aku gemar mencuri jeruk di kebun tetangga, selepas SMP Negeri I Koya Barat (ini daerah transmigrasi juga), rupanya modal nilai tertinggi di sekolah, NEM terbaik bukan jaminan untuk memperoleh pendidikan kualitas terbaik, karena sebagai orang tak berpunya, aku memang lebih pantas menduduki bangku SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas), agar aku bisa sadar bagaimana kondisi ekonomiku saat itu. PAS - PASAN !!! bahkan cenderung KURANG !!!

Menyadari kondisi bahwa dunia pendidikan bukan mencari orang berbakat tapi orang ber-uang, rasanya sia - sia perjuanganku yang harus berjalan kaki sejauh 20 Km setiap harinya, atau menumpang sepeda teman sebagai "buruh kayu" di depan, menjadi kondektur dan kuli bakul sayur yang bertugas mengangkat sayur - sayur dari kebun atau membantu mengikatnya sebelum di bawa ke pasar di subuh hari, dan aku merasa puas hanya dibekali Rp 2000,- setiap usai mengerjakan itu semua. Aku jadi anti kemapanan, dan merasa ada yang salah dengan ketidakadilan ini.

Tidak tamat SMEA, hanya sampai kelas II, tapi aku punya bekal pengetahuan akuntansi, paling tidak aku pernah belajar yang namanya pembukuan dan jadi tahu bagaimana para penguasa mempraktekkan pembukuan ganda, merekayasa pembukuan, walau ujung - ujungnya ilmu itu hanya aku pake untuk menghitung uang - uang recehan yang aku pegang setiap hari sebagai kondektur angkot.

Babak kelam bagi sebagian orang, namun bagiku, itulah babak dalam kehidupan seseorang dimana kita dituntut untuk mempertahankan diri dan menunjukkan identitas kita siapa sebenarnya, kita jadi tahu kerasnya kehidupan. aku pikir makan nasi jagung ketika masih di daerah trans, adalah suatu penderitaan, ternyata hidup di jalanan adalah penderitaan senyata - nyatanya derita anak manusia yang masih ingin di anggap sebagai manusia.

jadi tukang ojek pake motor orang, tidak setoran seminggu, motor aku kembalikan diam - diam, tidur di emper toko, modal miras barang seteguk dan bersama teman - teman jalan miring - miring tagih - tagih anak sekolah, bahkan pernah dapat keroyok gara - gara ganggu pacar orang, aksi tipu - tipu teman sekedar untuk bertahan hidup, praktek curi onderdil motor punya teman dan dijual lagi ke teman, jadi calo tiket, bahkan sesekali praktek germo, dan kegiatan yang tidak pernah aku tinggalkan meski melalui kerasnya kehidupan adalah mengunjungi Perpustakaan Daerah untuk sekedar membaca dan beberapa kali aku mencuri koleksi buku - buku mereka yang sudah pasti tidak akan bisa aku beli ketika itu. Semua itu adalah sebagian kecil dari pengalaman besar yang bisa aku petik dari jalanan.

Dari semua perilaku jelek itu yang untungnya tidak tercatat sebagai tindak kriminal di kepolisian aku masih menyimpan sebuah obsesi sebagai anak manusia, dengan motto "hidup sampai keesokan hari, dan berguna bagi orang lain" mulai membawaku pada satu titik pencerahan, harus ada yang berubah, kalau lingkungan kita tidak berubah karena memang tidak akan pernah, maka kita yang harus berubah.

Berawal sebagai tukang ketik di sebuah pengetikan komputer, aku masih ingat ketika uang pertama yang kuterima dari hasil mengetik 5 lembar tugas anak SMA yang harus aku kerjakan selama 24 jam (dari pagi jam 9 - jam 9 esok paginya lagi). Karena sebagai pemula yang modal nekat aku tidak tahu apa dan bagaimana mengoperasikan komputer, tapi aku masih hapal huruf - huruf di keyboard, karena sewaktu di SMEA, guruku tidak lupa mengajarkan aku mengetik 10 jari, dan aku sadar ilmu itu ada gunanya, kalo aku tidak berhenti sekolah ketika itu pasti aku sudah berdiri di daftar antrian para pencari kerja, atau tidak aku tengah sibuk menulis berkas lamaran kerja.

Sempat jadi instruktur komputer untuk mahasiswa Papua, yang kurang beruntung karena meski berstatus mahasiswa mau saja dilatih oleh seorang yang tidak lulus SMEA, bahkan sempat 3 kali pindah - pindah sekolah tapi tidak tamat - tamat juga, yang membedakan antara aku dan mereka ketika itu adalah semangat untuk belajar, kehidupan mengajarkan aku modal utama adalah semangat dan kemauan, bukan pendidikan atau materi. karena pendidikan atau materi hanyalah alat untuk mencapai tujuan, tanpa bahan bakar semangat dan kemauan semua itu tidak berguna. masih teringat ketika itu, bila menghadapi masalah dalam tugas sebagai trainer, aku akan keluar ke toilet sebentar lalu menelpon kakak yang memang ahli di bidang komputer sekedar menyelesaikan masalah yang aku hadapi, dan para mahasiswa tersebut (murid - muridku) tidak tahu hal itu. he .... he .....

Setelah punya sedikit dana, aku melanjutkan sekolah tingkat atasku, pada SMA YPKP Kampung Harapan (sekolah Kristen meski aku seorang muslim) dan lulus pada tahun 2001 dengan predikat terbaik ketika itu, sehingga ikut SIPENMARU dan aku lolos di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih.

Aku tidak heran bagaimana kampus kita hanya mencetak sederet pemain sirkus di panggung politik, atau sederet anak manja yang suka berdemo bila tidak mendapat jatah PNS, sekelompok wanita penyuka rias dan penjaja status mahasiswa sebagai sebuah komoditi seksual di kalangan borjuis, aku berhenti kuliah setelah beberapa kali mencoba menggagas penerbitan media kampus.

Dan pelabuhan pertamaku adalah sebagai jurnalis pemula di Tabloid SERGAP, sambil tetap menjalani profesi sebagai tukang ketik, trainer kursus komputer, dan sesekali jadi tukang ojek kalo lagi sepi job, dan kemampuan memotivasi diri serta pengembangan diri aku peroleh melalui kegiatan di Multi Level Marketing, aku tidak tertarik dengan praktek menjual mereka, tetapi aku tertarik dengan proses mencetak tenaga - tenaga penjual sukarela dalam praktek yang dikembangkan dalam MLM. Anda pasti Bisa !!!, Anda Luar Biasa !!! itulah kata - kata yang selalu aku dengar dan tanamkan dalam diriku hingga kini, dan aku buktikan bahwa aku dan anda pasti bisa kalau kita berpikir bisa.

Lepas dari Tabloid SERGAP, aku sempat nyantol di HENGGI POS (Fak - Fak), kemudian bergabung ke Harian PAPUA POS, tidak berlangsung lama, terpaksa aku harus mengakhiri karir sebagai wartawan berhubung PAPUA POS pecah dari dalam. dan kuputuskan untuk menanggalkan status wartawan dan menambahkan sedikit jabatan pada diriku sebagai Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi Harian Umum KEEROM POST .

Aku yakin, jarang orang yang berani menerima resiko dan tanggung jawab dengan menempuh jalan seperti yang aku lalui, mencetak edisi perdana tanpa modal sepeserpun dan hanya bermodal 1 unit komputer. Kumpulan materi berita yang aku punya khususnya dari Kabupaten Keerom (kebetulan terakhir aku bertugas di daerah perbatasan, Keerom) aku jadikan modal pertamaku, setelah proses layout dari siang sampai subuh, akhirnya aku berhasil menerbitkan sebuah koran dengan oplgah 1.000 eksemplar sebanyak 12 halaman, dan 6 halaman diantaranya adalah iklan ucapan selamat atas penerbitan perdana koran tersebut.

Satu hal yang tidak akan pernah ku lupa, bahwa untuk mencetak edisi perdana itu aku harus menggadaikan komputer tanpa harddisk yang aku pake semalam suntuk untuk me-layout- koran edisi perdana. jadi hardisknya ku lepas dan bawa ke percetakan untuk di cetak, sedang komputer (CPU) kosong aku gadaikan ke teman untuk biaya cetak koran, ketika koran selesai di lipat, yang aku lakukan pertama kali bukan distribusi koran, tetapi melakukan penagihan iklan. sendiri semua itu aku lakukan.

Berhasil memang, komputerku hari itu juga aku tebus, dan bisa kembali berjalan hingga 3 bulan kemudian, saat dimana suhu politik di daerah memanas, dan kesibukanku sebagai pengawal Pilkada di Panwas sehingga media ini sedikit gelagapan untuk hidup. karena ada yang salah selama ini, semuanya tergantung kepada orang, tidak ada sistem dan sudah pasti modal yang aku kumpulkan dengan susah payah, harus tersedot oleh pengeluaran - pengeluaran dari staff dan orang - orang yang kupercaya membantuku di koran.

Walau akhirnya KEEROM POST harus gulung tikar, pengalaman berharga aku petik dari hal itu, dengan sisa - sisa tenaga yang ada, aku hidupkan kembali KEEROM POST dengan format Tabloid, namun karena menyadari ruang lingkup yang sempit dengan mengusung nama KEEROM POST, akhirnya ku ubah menjadi SUARA PAPUA hingga kini. dan sebagai penerbitnya aku membentuk sebuah LSM dengan nama INSTITUTE of PEOPLE INDEPENDENCE (IPI) -Papua / Lembaga Kemandirian Rakyat Papua.

Tidak ada komentar: