Kemana anak-anak kita itu.
Anak-anak yang dilahirkan oleh seluruh bangsa ini dengan keringat, luka, darah dan kematian.
Anak-anak yang dilahirkan oleh sejarah dengan air mata tiga setengah abad.
Anak-anak yang bernama kemerdekaan
Anak-anak yang bernama hak makhluk dan harkat kemanusiaan
Anak-anak yang bernama cinta kasih sesama
Anak-anak yang bernama indahnya kesejahteraan
Anak-anak yang bernama keterbukaan dan kelapangan
Tapi kita iseng
Kita tidak serius terhadap nilai
Terhadap Allah pun kita bersikap setengah hati
(Lirik Nasyid: ‘Kemana Anak-anak itu’ dalam album Kado Muhammad karya Emha Ainun Najib)
Oleh : Walhamri Wahid
Penggalan lirik nasyid Emha Ainun Nadjib di atas mengajak kita untuk mempertanyakan kembali seberapa dalam kita memaknai kemerdekaan yang telah di perjuangkan oleh para pejuang kita, beberapa dasawarsa yang lampau, dimana telah 62 tahun kita nikmati bersama.
Enam puluh dua tahun suatu usia yang kalau dalam fase kehidupan manusia sudah termasuk lansia (lanjut usia). Lansia biasanya lebih dihormati, diperhitungkan, didengarkan dalam keluarga maupun masyarakat. Orang lansia juga dianggap lebih bijaksana, lebih berwibawa, dan lebih dipercaya untuk melaksanakan berbagai tugas sosial kemasyarakatan maupun keluarga.
Kita sudah memproklamirkan kemerdekaan kita 62 tahun lalu, apakah kita sudah memproklamirkan juga sepenuh hati merdeka dari korupsi, perjudian, narkoba dan segala bentuk kejahatan atau penyelewengan. Sudahkah kita memproklamirkan merdeka dari sifat iri, dengki, menghasut, memfitnah, menarik keuntungan dari penderitaan orang lain.
Agaknya, kita masih setengah hati dalam memproklamirkan diri terhadap hal di atas. Buktinya, masih banyak koruptor kelas kakap berkeliaran dengan bebas, sementara koruptor kelas teri masih tetap berpraktik, misal jika mengurus surat di perkantoran akan lebih cepat kalau diberi uang pelicin. Kalau ada masalah hukum, cukup sediakan lembaran Soekarno-Hatta. Beres. Kita tidak perlu susah-susah kuliah, kalau dengan ‘hanya’ uang 10-15 juta rupiah kita bisa dapat gelar S1, S2, dan S3.
Proklamasi setengah hati masih tampak pada sifat kita yang tidak peduli terhadap nasib saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Seorang ibu tua yang miskin dan sehari – hari berjalan kaki dari rumah ke ladangnya di daerah Bonggo Kabupaten Sarmi ketika di tanya apa arti dan makna kemerdekaan baginya menjawab secara polos dan sederhana, “Merdeka artinya semua orang bisa punya sepeda, biar kita tidak jalan kaki lagi’
Sederhana, dan kesederhanaannya itu jadi bikin hati terenyuh. Meski sudah setengah abad lebih kita merdeka, namun belum semua orang bisa punya sepeda. Masih ada cerita di sana-sini tentang mereka yang dipinggirkan dari kehidupan, yang tak punya tempat layak buat merebahkan diri melewatkan waktu istirahat, apalagi sepeda. Kedengarannya sederhana, namun sekaligus tidak sederhana. Pernyataan merdeka si ibu tua, menuntut kesetaraan kesempatan. Sesuatu yang entah kapan bakal bisa kita nikmati di negeri tercinta, yang masih sarat ketimpangan kesempatan.
Dunia peradilan --mereka yang diharap jadi wasit dalam perikehidupan antarmanusia— kelihatan keruh dan tak pernah jelas. Malah terus mengeruh, aktor politik yang kian hari makin vulgar memperlihatkan laparnya pada kekuasaan dan hanya kekuasaan.
Mungkin di negeri seperti Indonesia yang setelah 62 tahun merdeka, masih berjuang melepaskan diri dari penjajahan nafsu untuk menghisap orang lain. Kalimat ‘semua orang bisa punya sepeda’, masih merupakan impian yang layak dikejar.
Kemerdekaan seakan kehilangan makna di tengah arus globalisasi, bagaimana dengan generasi muda kita, jangan heran kalau sekarang ada seorang artis muda yang kebetulan lahir tanggal 17 Agustus dimana ia hidup, dan mencari makan dari tanah dan rakyat Indonesia, dengan santai berkata, baginya nasionalisme tidak terlalu kepikiran, karena ia tidak memiliki hubungan erat dengan Indonesia meski ia lahir tgl 17 Agustus dan orang tuanya bahkan dirinya berkewarganegaraan Indonesia, hanya karena ia merasa sudah menjadi bagian dari dunia internasional karena ayahnya orang Perancis.
Nasionalisme, semangat kemerdekaan 45 yang dahulu bisa membuat kita menitikkan air mata di kala mendengar Indonesia Raya di perdengarkan, atau sang saka Merah Putih di kibarkan, saat ini seakan kehilangan makna.
Kini melihat penderitaan dan kemiskinan di depan mata sekalipun air mata itu seakan tidak mau menetes pula, nasionalisme kita terasa kering, apa karena kita merasa sudah merdeka dan lepas dari penjajahan.
Apakah kita tidak pernah menyadari bahwa penjajahan model baru tengah berlangsung saat ini, kita merdeka namun tidak bisa menjadi bangsa yang mandiri, kita masih sering membeo dengan kepentingan asing, kita terlalu bergantung dengan asing sehingga kebijakan yang diambil oleh petinggi negeri ini juga berpihak kepada asing dan mengabaikan harga diri dan martabat bangsa.
Kita tidak merasa sedih melihat saudara kita di siksa oleh “tuan – tuan” di negara tetangga, kita tidak merasa perlu menitikan air mata mengetahui beberapa asset negara bukan lagi milik kita, kita adalah negara pengutang yang rela menggadaikan makna kemerdekaan kita yang hakiki ke negara lain oleh karena perilaku tamak dan serakah yang dipertontonkan aktor – aktor kekuasaan.
Dengan dilakukannya peringatan HUT kemerdekaan RI, diharapkan generasi muda sebagai generasi penerus bangsa dapat mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan hal - hal yang positif, hal-hal yang dapat membangun dan meningkatkan harkat dan martabat bangsa di mata dunia internasional.
Aksi gotong-royong membersihkan jalan, mengecat pagar-pagar rumah, dan membuat gapura menjadi fenomena yang selalu terjadi menjelang peringatan HUT kemerdekaan RI. Berbagai macam hiburan dan perlombaan, seperti jalan sehat dan balap karung, banyak digelar guna menambah semarak perayaan HUT kemerdekaan RI.
Sayangnya, masyarakat seringkali larut dalam suasana senang-senangnya saja. Akibatnya, terjadi pergeseran makna dari peringatan HUT kemerdekaan RI itu sendiri. Peringatan yang semula bertujuan untuk mengenang jasa-jasa para pejuang kemerdekaan dan menumbuhkan nasionalisme generasi muda beralih menjadi ajang hiburan semata.
Perayaan HUT kemerdekaan RI yang mendatangkan artis-artis terkenal akan dapat dengan mudah menyedot antusiasme masyarakat. Tidak heran jika generasi muda lebih fasih menyanyikan lagu-lagu pop kontemporer dari pada menyanyikan lagulagu wajib nasional.
Nasionalisme dalam peringatan HUT kemerdekaan RI dari tahun ke tahun terus memudar. Lagu - lagu perjuangan pun sudah sangat jarang diperdengarkan. Nasionalisme yang ada sekarang ini hanya sebatas kata. Orang sangat sering berbicara mengenai nasionalisme, namun mereka tidak memahami apa makna nasionalisme tersebut.
Memudarnya nasionalisme dikalangan masyarakat disebabkan oleh tidak adanya contoh kepahlawanan sejati yang ditunjukan oleh para pemimpin di negeri ini. Pahlawan sejati, layaknya pahlawan pejuang kemerdekaan, rela mengorbankan harta dan nyawanya untuk tanah air Indonesia. Saat ini yang ada hanyalah ‘’penjajah-penjajah’’ yang mengatasnamakan rakyat untuk memperoleh kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.
Dalam hal kepahlawanan kiprah tim nasional sepak bola Indonesia dalam ajang piala Asia beberapa waktu lalu, barangkali bisa dijadikan sebagai contoh. Mereka mengeluarkan segala kemampuan dan berjuang ‘’mati- matian’’ untuk mengalahkan lawan. Tidak sedikit dari mereka yang harus cidera demi mengharumkan nama bangsa Indonesia di dunia sepak bola.
Sikap kepahlawanan inilah yang pada akhirnya menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat kita. Puluhan ribu supporter bersatu padu menanggalkan atribut daerahnya guna mendukung tim nasional berlaga.
Guna menumbuhkan kembali nasionalisme masyarakat dalam peringatan HUT kemerdekaan RI maka harus dilakukan beberapa perubahan. Selain para pemimpin di negeri ini harus menunjukkan sikap kepahlawanan yang sejati, lomba-lomba yang diselenggarakan menjelang 17-an juga harusnya dapat menghibur sekaligus memupuk nasionalisme, pemutaran kembali film – film perjuangan, agar generasi saat ini bisa kenal siapa itu Jenderal Sudirman, Sultan Hasanuddin, atau Cut Nyak Dhien, biar generasi saat ini tahu bagaimana negara ini bisa subur dan makmur karena di sirami dengan literan darah para pejuang kita.
Ada yang salah dengan pembinaan generasi muda kita saat ini !!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar