Oleh : Walhamri Wahid,
Pers bermakna luas, sedang jurnalistik adalah sebuah kerja pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyebar luasan informasi dengan mengedepankan fungsi – fungsi control dan pengawasan public tanpa harus melakukan serangkaian pembohongan atau hal – hal yang mencoreng independensi dari pers itu sendiri.
Di era pemerintahan yang otoriter, pers tidak lebih dari sebuah corong pengeras dari sosok kekuasaan, yang berusaha dan berupaya memelihara “kepatuhan masyarakat” melalui indoktrinasi dan pembatasan masyarakat akan akses terhadap berbagai informasi yang bernuansa pembelajaran, pencerahan apalagi melakukan kritik terhadap penguasa itu sendiri.
Di era reformasi ini, kinerja pers benar – benar memiliki kebebasan berekspresi, meski sering terjadi kebablasan tanpa memperhatikan pagar – pagar aturan dalam dunia jurnalistik itu sendiri, bahkan yang lebih ironi lagi, ketika pers tidak lebih dari sebuah komoditi yang berorinetasi ekonomis semata, maka hak – hak warga Negara untuk memperoleh informasi yang baik dan benar bisa terabaikan.
Kebebasan Memperoleh Informasi merupakan salah satu HAM yang diatur dalam Deklarasi HAM Sedunia, hanya saja sangat disayangkan kebebasan memperoleh informasi tidak dibarengi dengan kebebasan menyampaikan pendapat serta yang terpenting adalah kemauan mendengar dari penguasa, maka semua akan sia – sia.
Namun angin segar kebebasan memperoleh dan menyampaikan pendapat saat ini mulai terasa yang kurang adalah kemauan mendengar dari pemilik telinga yang berstatus “penguasa”, sehingga terkadang praktek – praktek pembreidelan dan pembatasan kebebasan berekspresi (berbicara) dikekang dengan cara – cara halus dan juga ada yang menggunakan cara – cara kasar (tidak beradab).
Itu semua terjadi karena cara pandang yang berbeda terhadap penyajian pemberitaan yang terdapat pada media – media khususnya media cetak, dimana dengan keterbatasan dan kekurangan media yang masih banyak bersandar pada pemerintah dari aspek pendanaan (khususnya di Papua) membuat ruang gerak pelaksanaan tugas – tugas jurnalistik sedikit terbentur dengan tembok kepentingan.
Bila kita melakukan audit terhadap alokasi dana pemerintah daerah maupun provinsi kepada media baik secara langsung maupun tidak langsung, kita akan tercengang, hubungan saling memberi dan menerima ini lah pangkal dari “tumpulnya” tugas control social yang diemban pers.
Sehingga dalam kondisi tertentu, pers yang sedikit berhaluan keras harus siap – siap menerima sejumlah pengucilan baik dalam tugas – tugas kewartawanan maupun pembagian jatah fasilitator yang diemban oleh pemerintah terhadap seluruh aktivitas masyarakat yang berada dalam sebuah Negara.
Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, pers tidak bisa gegabah atau membabi buta, dan seperangkat aturan yang ada sudah cukup memberi batasan – batasan mana yang bisa dilanggar dan mana yang tidak, hanya saja terkadang pers (khususnya di Papua) bila kita simak dari sisi pemberitaan lebih banyak terjebak dalam lingkaran “alat publikasi” ketimbang alat control, meski ada satu dua pemberitaan media yang mengarah pada advokasi rakyat akan tetapi “prinsip kehati – hatian” dengan berlindung di balik menjaga hubungan baik lebih menonjol.
Disini bukan hanya kemampuan wartawan yang dituntut untuk lebih peka, namun yang terpenting adalah iklim “kemauan mendengar” juga perlu ditumbuhkan, karena “keengganan” wartawan menjalankan fungsi control disebabkan iklim mendengar yang kurang sehat, sehingga lebih banyak wartawan mencari aman daripada melakukan konfrontasi dengan penguasa yang ujung – ujungnya kepentingan wartawan maupun media terganggu.
Para penguasa juga dituntut untuk lebih melihat sebuah pemberitaan secara utuh, tidak bisa mengkonsumsi berita per paragaraf, atau per kalimat, karena sebuah berita adalah satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan, sehingga bila ada nuansa kritis, harus di cerna lebih baik apakah destruktif atau konstruktif atau bisa jadi juga bernuansa motivasi.
Pola pikir positip perlu ditumbuh kembangkan di kalangan penguasa yang terkadang buta mata dan tuli telinga. Namun suatu hal yang membanggakan bila penguasa masih peduli terhadap pemberitaan sebuah media yang langsung bersentuhan dengan public, hal itu menunjukkan hati mereka tidak buta, masih ada budaya malu di kalangan mereka, yang perlu dibangun sebenarnya komunikasi dengan membangun dan menyediakan ruang – ruang korektif dan komunikatif dalam sebuah media demi terjalinnya komunikasi dimaksud.
Satu persoalan penting lainnya yang dihadapi oleh pers itu sendiri adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di bidang tersebut, karena sebuah tulisan yang tersaji dalam bentuk pemberitaan berbeda dengan “barang cetakan” pada umumnya, namun “tulisan” dimaksud adalah sebuah karya jurnalistik yang memiliki nilai – nilai baik etika, estetika, yang dipadu dengan semangat “bertanggung jawab” baik secara hukum maupun sosial.
Namun “kesombongan” dari insan pers itu sendirilah sehingga kini mulai marak “pelecehan” terhadap nilai – nilai idealis yang diusung oleh pers, atau bisa jadi nilai – nilai idealis tersebut telah ditukar dengan “sejumput urusan perut”, sehingga kita jadi sulit membedakan mana sebuah karya jurnalistik mana sebuah “barang cetakan” karena sama – sama mengusung nilai yang mengarah pada “merendahkan profesi” seorang jurnalis itu sendiri.
Rendahnya kualitas jurnalistik baik dari sisi pemberitaan maupun sistem kerja, juga sebenarnya menunjukkan lemahnya kontrol masyarakat terhadap media itu sendiri, di era sekarang ini, tidak bisa masyarakat (pembaca) hanya menjadi obyek namun justru pembaca harus lebih kritis dan berani menyuarakan kebenaran termasuk terhadap pers yang sudah melupakan fungsi utama mereka sebagai lembaga kontrol dan asyik bercengkerama dengan nikmatnya limpahan ekonomis.
Paling tidak mekanisme kontrol baik itu hak jawab, hak koreksi maupun upaya – upaya hukum lainnya harus dilakukan demi menuju kepada penciptaan sebuah lembaga pers yang bebas, bertanggung jawab dan memegang teguh amanat yang diembannya. (Penulis adalah Pimpinan Redaksi SKM Gratis Untuk Rakyat SUARA PAPUA)
Senin, 01 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar