Ada kesdihan yang mendalam, melihat visual di media, tatkala nenek - nenek uzur yang mayoritas adalah kaum perempuan berhimpitan satu sama lain berjuang untuk merengkuh amplop berisi uang Rp. 30.000, tanpa sadar air mata saya menetes, saya membayangkan andai saja nenek saya ada diantara mereka, atau ibu saya, atau sanak saudara saya lainnya ada diantara kerumunan manusia - manusia yang tanpa rasa bersalah sedikitpun kita menyebut mereka "kaum miskin", "dhuafa", "fakir", dan sebutan - sebutan lainnya yang melambangkan betapa mereka selama ini adalah tumbal dari ketidakbecusan elite politik kita mengelola negara.
Saya marah, sangat marah melihat kenyataan di depan mata, dimana kemiskinan begitu terpampang jelas, tapi para pejabat kita masih bisa berleha - leha di antara balutan baju seharga jutaan rupiah, diatas mobil ratusan juta yang mulai dari bensin sampai kerusakannya ditanggung oleh negara.
Seharusnya tragedi pasuruan harus diperingati sebagai duka nasional, dan ditandai dengan sumbangan besar - besaran dari para pejabat kita untuk mendirikan Yayasan Orang Miskin Indonesia, (tapi kalo yayasan lagi nanti ujung - ujungnya di gunakan untuk kepentingan dana politik lagi....).
Persoalan sebenarnya bukan terletak pada lewat lembaga apa zakat disalurkan, atau H. Syaikhon salah atau benar, atau berapa banyak orang yang meninggal, kita jangan mencoba membelokkan persoalan sebenarnya dari bangsa ini, yakni kemiskinan yang bertumpuk - tumpuk.
Entah benar mereka semua adalah orang miskin atau memiliki mental miskin, karena saat ini kemniskinan menjadi komoditi, dengan data sejumlah rakyat miskin maka LSM, ataupun pemerintah daerah bisa memiliki justifikasi untuk pelaksanaan sejumlah kegiatan atau program, padahal nanti yang sampai ke rakyat hanya secuil, lebih banyak yang di embat oleh konsultan, perencanaan, honor birokrat, bahkan tenaga - tenaga lainnya yang kadang kala dari luar negeri dan di bayar mahal.
Kalau kita mau merenung sebenarnya elite - elite politik lebih senang kalo rakyat indonesia sebagian besar dalam kondisi miskin, dan kelaparan sehingga bisa mereka pengaruhi dengan janji - janji kosong dan sebungkus nasi, kalau rakyat indonesia banyak yang kaya dan pintar - pintar maka, kekuasaan itu tidak akan pernah tenang dinikmati, karena pasti ada dan selalu saja terjadi penolakan untuk kebijakan - kebijakan yang pro kepentingan dan pribadi. jadi kemiskinan masih kita jadikan sebuah komoditi belaka, kemiskinan bagi kita bukan persoalan yang untuk dipecahkan tetapi untuk diperbincangkan, analisis, dan diseminarkan kenapa terjadi, bukan bagaimana mengatasinya. kitan merasa dengan kasih BLT saja sudah cukup.
Bicara masalah pembagian zakat saya punya pengalaman menarik ketika tinggal di desa dan bertindak sebagai amil zakat, dimana masyarakat di kampung saya dahulu gengsi bila di katakan sebagai miskin, jadi mereka semua akan berupaya membayar zakatnya khususnya zakat fitrah, jadi zakat tersebut di setorkan kepada pengurus Mushola di lingkungan kami, dan kebetulan saya dan teman - teman bertindak sebagai pembagi zakat kepada mereka yang membutuhkan dan dinilai membutuhkan, dan tidak ada antrian, karena masyarakat miskin di kampung kami ketika itu akan berdiam diri di rumah menanti karena mereka tahu pasti akan kebagian, dan tidak ada kekhawatiran. dan kami yang bertindak selaku amil zakat bekerja tanpa pamrih, sampai subuh hari berkeliling mendatangi rumah - rumah membagi - bagikan zakat, kalau ada sisanya biasanya di serahkan ke masjid raya di tingkat kampung (kelurahan).
Semua orang miskin di lingkungan (Jalur/RW) kebagian tidak ada yang tidak dapat apalagi berebutan, tapi kenapa sekarang fungsi masjid dan mushola sudah tidak berjalan baik lagi ??? apakah karena masjid dan mushola hanya simbol, padahal kekuatan umat muslim di masjid, bukan di parlemen ataupun di eksekutif yang lebih banyak mengandalkan "mulut" daripada kerja nyata.
Ketika itu orang miskin tidak ragu sedikitpun akan hak mereka di tilep, karena mereka sudah tahu siapa - siapa yang terlibat sebagai amil zakat, artinya orang - orangnya amanah, lain dengan sekarang jangankan orang - orang lembaganya juga namanya aneh - aneh, berdiri dibangunan megah yang sudah lebih dekat kepada perusahaan, lengkap dengan lembaga auditnya, tapi bukan berarti tidak rawan kebocoran, andaikan tidak bocor biaya operasionalnya juga tidak kecil jadi bisa seimbang antara yang sampai ke rsakyat miskin dengan yang dipakai untuk membiayai biaya operasional lembaga amil zakat.
masjid ada di seluruh indonesia, kenapa kita tidak gunakan lembaga masjid untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, pengurus masjid sudah pasti lebih mengenal siapa - siapa di lingkungannya yang benar - benar membutuhkan, kuncinya sebenarnya pengurus itu amanah tidak, kalo dulu ada bagian untuk amil zakat karena mereka yang mengurus itu adalah hamba - hamba allah yang amanah dan kerjanya tidak ada selain melayani umat sehingga punya hak untuk memperoleh bagian dalam zakat, tapi sekarang banyak juga yang mendirikan badan amil zakat untuk kepentingan kelompok atau golongannya, memang disalurkan ke masyarakat miskin tapi kadang kala di titipi pesan sponsor misalnya dari partai ini, atau partai itu, dan pengurus amil zakat tersebut punya sumber penghasilan juga, jadi kenapa masih berharap dari hak orang miskin,
sudah saatnya ada perubahan pola pikir dari para pengelola lembaga amil zakat di Indonesia, bahwa lembaga itu bukan tempat untuk mencari tapi tempat untuk berbuat, walaupun itu menjadi hak, tapi kalau kita tahu ada yang lebih berhak kenapa kita masih ngotot mengambil hak tersebut,
masih banyak anak - anak muda dan remaja di mushola dan masjid - masjid yang bisa digerakkan untuk melihat dan berbagi sebagai tenaga pembagi zakat bagi orang miskin, mereka tidak minta bayaran atau pamrih, seperti yang pernah saya dan teman - teman dulu lakukan di kampung.
Tujuan dan peran lembaga amil zakat bukan seperti negara, tetapi bagaimana memperbaiki umat, oleh karena itulah gunanya pemerintah, jadi amil zakat tidak usah berpikir dan merencanakan pembangunan sekolah atau hal - hal lainnya yang terlalu muluk, cukup pikir bagaimana umat - umat yang lemah bisa dikuatkan, bangun sekolah atau kegiatan - kegiatan lainnya khan sudah ada negara (pemerintah) kalo pemerintah tidak bisa urus negara dan rakyatnya, memang itu perlu, tapi rasanya kita patut malu sebagai umat islam, kita bisa bangga dan membanggakan kebesaran dan keluhuran firman - firman Tuhan tapi kita sama sekali tidak punya empati terhadap umat dan saudara - saudara kita yang masih bergelimang kemiskinan.
banyak orang pintar, alim ulama dan orang hebat di Indonesia, tapi kok persoalan bangsa ini tidak bisa habis - habis, itu semua karena orang - orang hebat dan pintar itu tidak punya hati, semua berpikir untuk kepentingan dan diri sendiri, berbuat amal juga masih berharap pujian, kita mengaku paham ilmu agama tapi kadangkala agama kita jadikan tameng dan melegalkan hal - hal yang merampas hak orang lain, kita tidak pernah memahami agama sebagai panduan nilai dalam melangkah, tapi kita hanya melihat agama sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan dan dibela mati - matian sampai titik darah penghabisan.
Saya marah ..... memang sebagai orang bodoh yang tidak tahu apa - apa sangat marah melihat realitas bangsa ini saat ini,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar