Senin, 01 September 2008

Miras, Tak Hilang Diterpa Demo

Meski korban sudah berjatuhan, seruan menghentikan peredaran miras di teriakkan, namun nampaknya mimpi hilangnya miras yang secara pelahan merusak pikiran, sikap dan mental generasi Papua tidak akan hilang dari Papua, dibutuhkan kesadaran dari dalam diri kita sendiri bahwa miras tidak bermanfaat, saatnya memutuskan STOP MIRAS dari sekarang karena tidak ada bangsa yang menjadi besar karena berada dalam pengaruh miras, dan belum saatnya kita menjadi bagian dari budaya global, yang bermotto Tiada Hari Tanpa Miras
_________________
Philipus Halitopo, Ketua Rukun Keluarga Jayawijaya (RKJ) ancam duduki DPRP dan meminta dialog dengan Gubernur terkait persoalan miras, dimana menurutnya PAD miras tidak dirasakan langsung oleh masyarakat, justru hanya dinikmati oleh pejabat saja, jika dibandingkan dengan kerugiannya, maka lebih banyak kerugiannya, sehingga perlu di tiadakan dari bumi Papua.
Keberangan Halitopo bukan tanpa dasar, dari sekian banyak korban yang berjatuhan etnis Pegunungan Tengah yang paling banyak menjadi korban, dimana seperti kasus yang baru terjadi di SP V Taja kemarin telah jatuh 8 orang korban, diantaranya Andep Wenda (20 thn), Kostan Tabuni (25 thn), Trigius Wanbo (25 thn), Mecky Tabuni (25 thn), Yes Tabuni (30), Alius Wenda (30), dan Gerad Tabuni (30 thn) yang kesemuanya korban pesta miras di SP V Taja Distrik Yapsi Kabupaten Jayapura.
2 orang lainnya di Kotaraja, belum lagi yang mengalami cacat seumur hidup, dan itu adalah kasus – kasus yang berhasil terdata, sedangkan yang tidak terdata pasti lebih banyak lagi.
Dari data Polres Jayapura sejak Januari hingga September 2007, kasus miras yang berhasil diamankan dan di proses di Kabupaten Jayapura mencapai 19 orang baik yang meninggal maupun yang mengalami cacat dan sakit dan masih dalam perawatan, dimana Minggu (22/6) di BTN Lembah Furia Yahim Sentani memakan korban Yuna Tabuni, Nas Tabuni, Putrina Kogoya, dan Nataniel Felle dimana mereka mencampur alkohol murni 95% dengan M 150, yang diracik sendiri.
Jumat (17/8) di Jalan Makendang Kompleks Pasar Lama Sentani Alfred Felle ditetapkan sebagai tersangka karena meracik miras untuk diminum bersama korban Agus Felle, Daniel Maud, Alex Kosay, Piter Wenda, Jhotam Alpred Suan Se, Nikko Hubi dimana mereka mengkonsumsi miras jenis Cap Tikus (CT)
Kamis (23/8) Mecky Wandik diamankan karena mengkonsumsi alkoholmurni di campur air hangat dan bahan lainnya di Jalan Mambruk Kompleks Pasar Lama Sentani.
Dan yang terkini adalah kasus SP V Taja yang terjadi Minggu (7/9) dimana memakan korban 8 orang meninggal sedang 2 lagi masih dalam perawatan akibat mengkonsumsi alkoholmurni dicampur Extra Joss dalam acara syukuran meninggalnya Kepala Kampung.
Halitopo tidak sendiri meneriakkan penolakan terhadap miras ini, berbagai unsure pemuda, agama, dan adat bahkan pelaku bisnis juga menyerukan hal senada. Seperti yang disampaikan oleh Asosiasi Mahasiswa Mamberamo Tami (Asmamta) Selasa (11/9) lalu di Café Prima Garden, menurut mereka pemerintah terkesan sengaja membinasakan generasi muda Papua dengan mengizinkan peredaran miras di Papua ini.
Bahkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Papua Jhon Kabey pun sampai menyerukan agar peredaran miras di stop di Papua mengingat dampak yang ditimbulkannya.
Tapi nampaknya keinginan itu tidak akan terwujud mengingat miras termasuk barang produksi yang memiliki nilai ekonomi dan telah diatur dalam Undang – Undang dan siapa saja boleh memperdagangkan sesuai dengan prosedur yang benar, seperti disampaikan oleh Kabiro Hukum Prov. Papua Johanes Roembiak, SH, M.Hum yang mengaku tengah menyusun draft Raperdasus Miras di Papua.
“miras tidak bisa dilarang, karena sudah ada aturan yang mengaturnya, kita hanya bisa membatasi saja”, terangnya.
Dimana dalam Raperdasus yang tengah digodok nantinya miras hanya akan dibatasi pemasukannya, peredarannya, para penjual, dan pembeli, kadar alcohol serta perizinannya. Dan menurutnya sikap itu bukan karena miras memberikan PAD bagi daerah, akan tetapi berdasarkan pada aturan yang sudah ada, miras memang tidak bisa dilarang hanya di batasi.
“yang menimbulkan korban fatal selama ini karena alcohol oplosan bukan miras berlabel yang dijual dan memperoleh izin, jadi kita hanya bisa membatasi karena kita tahu miras memang mempunyai dampak buruk bagi kesehatan”, tandasnya lagi.
Melihat riwayat kasus tewasnya korban miras tersebut rata – rata dikarenakan mengkonsumsi miras (CT) oplosan yang biasanya di campur dengan berbagai macam zat lainnya, ada yang capur dengan Extra Joss untuk memperoleh efek warna kuningnya, namun lebih sering mereka mencampurkannya dengan soda ataupun air Aqua dan coca cola.
Namun yang mengkhawatirkan lagi, adalah kreatifitas para pecandu miras ini terkadang sudah kelewatan, menurut penuturan beberapa pemabuk yang berhasil ditemui SUARA PAPUA di seputaran Sentani bahwa bila tidak menemukan CT biasanya mereka meracik sendiri beberapa botol alcohol 75 % yang dijual di Apotik dengan beberapa zat diatas, dari beberapa kasus bahkan ada yang nekat meminum spirtus oplosan.
Tidak heran bila dampak yanag ditimbulkan sampai pada melemahnya saraf mata, pendengaran, dan merusak sel – sel organ tubuh lainnya, penciutan organ vital dalam tubuh, seperti ginjal, liver, dan paru – paru.
“Alkohol murni yang dijual di apotik itu berasal dari bahan kimiawi, berbeda dengan miras yang dijual dalama kemasan itu hasilk fermentasi bahan nabati sehingga berbeda dampaknya yang satu merusak satunya lagi menimbulkan efek memabukkan dan mudah diserap oleh tubuh”, papar dr. E. Toto Kaban yang menangani pasien dari Taja di RSUD Yowari Sentani.
Menurutnya lagi bahwa alcohol murni itu dipake untuk terapi, membersihkan luka dan kuman, sehingga bila dikonsumsi dampaknya bisa langsung terasa pada tenggorokan yang mengalami iritasi, dan akhirnya cairan ini akan beredar dalam pembuluh darah dan menimbulkan kerusakan, apalagi bila dikonsumsi dalam waktu lama.
Prosedur perolehan izin peredaran miras sendiri seperti disampaikan Kadinperindag Yusuf Wally, SE, MM bahwa untuk miras golongan B dan C harus memakai Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP MB) dari Departemen Perdagangan sesuai Permendag No. 15 Tahun 2006, dengan dasar SIUP MB dari Departemen Perdagangan barulah Rekomendasi dari Gubernur bisa keluar, dan juga harus ada rekomendasi dari Bupati atau Walikota sesuai daerah peredarannya.
Sedangkan miras golongan C adalah bir yang kadar alkoholnya 5 persen tidak perlu pake SIUP MB tapi cukup SIUP saja, sesuai SK Gubernur No. 215 Tahun 1999 dan terdaftar di Perindag dan tetap harus ada izin atau rekomendasi dari Pemkab maupun Pemkot juga.
“SIUP hanya dibatasi selama 3 tahun, dan bisa diperpanjang lagi, tapai bila ditemui pelanggaran, maka izin kita cabut”, tandas Yusuf Wally yang mengaku tengah sibuk mempersiapkan promosi produk unggulan Papua ke luar negeri itu.
Meski aturan menutup peluang untuk peniadaan miras di Tanah Papua, akan tetapi beberapa daerah sudah mencoba melakukan langkah berani, namun sejauh ini memang belum bisa diukur seefektif apa Perda tersebut dilaksanakan di masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Manokwari dan juga Paniai yang belum lama ini DPRD mensahkannya.
Meski korban sudah berjatuhan, kita sama – sama tahu miras berdampak buruk untuk kesehatan, tapi nampaknya mimpi tiadanya orang mabuk berkeliaran di pinggir jalan masih jauh dari harapan, semoga dengan pembatasan dan tumbuhnya kesadaran dalam diri masyarakat sendiri akan mengurangi aksi pemusnahan etnis Papua secara terselubung. (Rahayu, Dian Kandipi, Amri, Nardi)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Salah satu keberhasilan Otsus adalah maraknya peredaran miras, bertambahnya bar dan karaoke, dan sudah pasti paha - paha putih yang terjepit diantara poro - poro bibi (buncit) para pejabat Papua yang senang berfoya - foya, tulisan - tulisannya sangat bagus dan menggugah, senang sekali bisa berkenalan dengan anda, seorang Papua yang punya wawasan dan pemikiran ke depan untuk membangun dan menyelamatkan orang Papua

Anonim mengatakan...

Pace, ko pu komentar tentang pers benar sekali itu !!! Tapi Pace ko juga bagian dari pasukan bodrex khan bukan ?