Satu langkah berani aku ambil, setelah hampir 3 tahhun aku merintis penerbitan Tabloid Gratis SUARA PAPUA, 5 bulan lalu aku putuskan mengundurkan diri (non aktif) sebagai Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi SUARA PAPUA.
Ada kejenuhan sehingga kuputuskan untuk terjun ke dunia lain, dunia nyata dimana aku harus melaluinya yakni dunia pemenuhan kebutuhan hidup, aku mencoba menekuni dunia usaha, aku baru tersadar bahwa selama beberapa tahun di LSM dan sebagai jurnalis aku tidak mempunyai sepeserpun simpanan baik di dompet apalagi di Bank, bahkan dompetpun aku tak punya karena hilang lengkap dengan isi - isinya.
Konflik interest sempat muncul pasca kemunduranku dari SUARA PAPUA, tapi itu adalah dinamika lain dari sisi kehidupanku, yang ingin ku bagi adalah setelah hampir 5 bulan aku mengundurkan diri beberapa aktivitas aku lakukan untuk sekedar penyambung hidup, sampai akhirnya aku terjun dan ikut dalam ToT program SIYB (Enterpreneurship) dari ILO - Papua.
Sedikit - sedikit aku punya bakat wirausaha, hanya saja orang - orang bilang aku terlalu "sok sial" (sosial ... maksudku) jadi bukan tipe pedagang yang pandai mengatur pengeluaran.
Selepas mengikuti ToT di Makassar selama 2 minggu, aku kembali ke Papua tanpa harus melakukan apa, dan akhirnya ku putuskan untuk bergabung ke salah satu media harian yang baru terbit di Jayapura kota kelahiranku.
Hari pertama aku sangat bersemangat, karena selama ini hampir 3 tahun kerjaku adalah di belakang meja dan melakukan lobby - lobby demi kelangsungan media yang ku kelola, meski sesekali aku harus turun lapangan.
Aku ditugaskan dengan sebuah surat tugas sebagai Calon reporter (CR) di Kabupaten Jayapura (Sentani). hari pertama yang ku angkat adalah tentang adanya Pungli, dan beberapa persoalan sosial di masyarakat bawah, dalam kegiatan hunting sehari itulah aku baru mengetahui bagaimana sebenarnya dunia jurnalis di Papua (kota) maksudku selama ini.
Aku 3 tahun terakhir memang lebih banyak di daerah - daerah (kabupaten baru) jadi tidak mengetahui perkembangan dan situasi dunia pers di kota. yang pasti aroma "berburu amplop" sangat terasa sekali, teman - teman wartawan dalam kegiatan peliputan lebih cenderung mengejar "nilai" amplop ketimbang "nilai berita", nara sumber di ukur dari tebalnya kantong dan kerelaan mengucurkan angpao, bukan di nilai dari kapasitas dan kompetensinya dalam memberikan informasi.
Aku sempat ke KPUD yang kebetulan ada pertemuan dengan sejumlah pengurus partai, rupanaya wartawan yang hadir hanya aku, rupanya KPU selama ini dianggap sebagai daerah kering, dan oleh salah seorang anggota KPU usai mewawancarainya aku di sodori selembar uang seratus ribuan.
Demi Allah ... hari itu uang dikantongku hanya Rp. 20.000, tapi sejak awal menekuni profesi ini aku bertekad tidak akan menerima hal semacam itu, secara halus kutolak pemberian anggota KPU dimaksud. responnya sangat di luar dugaan, rupanya selama ia bertugas baru kali itu ada wartawan yang menolak pemberiannya, rasanya kurang etis kalo aku menceritakan bagaimana reaksinya di dalam blog ini, bahkan di pikirnya tariffku lebih tinggi dari pada wartawan lainnya.
Rupanya ada perang tariff juga ya di kalangan pers !
Aku bertekad akan melakukan kampanye anti amplop, sejak dari hari itu, rupanya iklim dan kebiasaan di daerah yang jauh dari aroma amplop membuatku terheran - heran, bahwa begitu tercemarka profesi yang aku tekuni oleh ulah segelintir jurnalis yang tidak memahami untuk apa mereka hadir di tengah masyarakat.
hanya sehari aku hunting di Kabupaten Jayapura, rupanya feature ku tentang aksi pungli di Pasar oleh sejumlah oknum dinas terkait membuat berang pejabat yang sudah kumintai keterangannya.
namun yang lebih membuatku heran lagi, pasca pemberitaanku itu, dari kantor memutuskan untuk sementara tidak menaruh wartawan baru di kantor Bupati mengingat untuk menjaga hubungan baik jadi menunggu wartawan yang selama ini ngepos di situ.
Satu lagi pelajaran berharga, rupanya kepentingan ekonomi lebih kuat mempengaruhi kebijakan redaksi daripada fungsi dan tugas pers itu sendiri, aku tidak bisa berbicara banyak karena kebetulan aku juga sudah kembali ke daerah tempat dimana selama ini aku bertapa dan menjalankan tugas - tugas jurnalistik.
Dari sepenggal pengalaman itu dan beberapa kali berdiskusi serta mengamati kondisi teman - teman wartawan di kota, ada hal yang salah dan perlu di luruskan terhadap profesi pers saat ini.
Aku punya cita - cita seandainya saja aku bisa bertugas secara tetap di kota, aku akan memberikan contoh bagaimana sebenarnya seorang menjunjung tinggi profesi dan menghargai nilai - nilai yang melekat pada profesi, tapi nampaknya dalam waktu dekat ini aku harus berjibaku dulu dengan urusan pribadi dan perutku. karena bagaimanapun aku juga manusia yang punya setumpuk kebutuhan.
Karena aku tahu profesi sebagai jurnalis tidak bisa kujadikan sebagai sumber mata pencaharian, makanya saat ini aku tengah fokus membesarkan usahaku dari hasil menggadaikan BPKB motor pada sebuah bank perkreditan rakyat, hasil pinjam teman dan keluarga. mau tahu usahaku kini ? Tidak jauh - jauh dari dunia komunikasi juga sih, aku saat ini lagi mengelola sebuah warnet, makanya aku bisa nulis dan buat blog ini karena kerjaanku tidak jauh dari yang dulu. nulis dan nulis juga di depan komputer. hidup terasa indah sekarang meski harus peras kepala untuk melakukan renegosiasi pada saat para rentenir datang menagih modal yang kupinjam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar