Selasa, 02 September 2008

Jilani Pulang, Teror Berkembang

Majelis Umum PBB secara aklamasi telah mengesahkan Deklarasi Pembela HAM pada 9 Desember 1998 dengan maksud untuk melindungi para pembela HAM di seluruh dunia agar dapat melaksanakan tugasnya mempromosikan HAM dengan aman dan baik. Untuk dapat melakukan monitoring agar semua negara anggota PBB melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi Pembela HAM tersebut, maka Komisi HAM PBB meminta Sekretaris Jendral PBB untuk menunjuk seorang wakil khusus untuk perlindungan pembela HAM, dan pada bulan Agustus 2000 ditunjuklah Ms. Hina Jilani.

Indonesia sebagai negara anggota PBB yang juga turut serta menyetujui disahkannya Deklarasi Pembela HAM pada tahun 1998, terikat untuk mematuhi dan melaksanakan Deklarasi Pembela HAM 1998, apalagi saat ini Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB.

Oleh karena itu itikad baik Pemerintah Indonesia mengundang wakil khusus PBB untuk Perlindungan Pembela HAM untuk mengunjungi Indonesia pada tanggal 5 – 13 Juni 2007, merupakan satu preseden baik bagi Pemerintah RI dalam hal penegakan HAM, akan tetapi itikad baik Pemerintah ternyata telah dicemari oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang justru masih menggunakan cara-cara lama yang biasa dipraktekkan aparat pada masa Pemerintahan Soeharto untuk menyerang para Pembela HAM di Indonesia, yaitu dengan menggunakan kekerasan, termasuk ancaman pembunuhan, stigma separatis dan penyesatan opini pada masyarakat.

Demikian penggalan siaran pers bersama Imparsial, YLBHI, Kontras, dan Pokja Papua yang di keluarkan di Jakarta Juni 2007 yang lalu yang mencoba menyoroti perlakuan yang diterima oleh para pejuang HAM baik di Papua maupun Medan.

Dimana pasca kedatangan Hina Jilani, tercatat para Pembela HAM di Papua dan Medan secara langsung telah mengalami tindak kekerasan oleh orang-orang dan kelompok status quo yang tidak menginginkan perubahan di Indonesia.

Pertemuan Hina Jilani medio Mei kemarin dengan LSM, tokoh masyarakat, agama dan komponen masyarakat lainnya di Papua ketika itu berlangsung di Kantor Sinode GKI Tanah Papua dengan dihadiri sekitar 70 orang selama kurang lebih 1,5 jam dimana pada kesempatan tersebut 6 orang perwakilan berkesempatan memberikan kesaksian tentang apa yang mereka alami selama menjalankan tugas – tugas penegakan HAM di Tanah Papua.

"Kalau soal pelanggarannya dan korbannya sebenarnya tidak perlu kami beberkan ke media massa, tapi yang pasti teman-teman tadi menceritakan apa adanya dan situasi para pekerja HAM di Papua," kata Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua J. Septer Manufandu seperti dilansir harian Cepos ketika itu.

Hampir semua yang hadir ketika itu khususnya yang memberikan keterangan baik dari tokoh adat, agama, perempuan dan LSM merasa puas dengan pertemuan tersebut karena sejak tahun 1969 baru kali ini ada utusan PBB yang melihat kondisi mereka para pekerja HAM di Papua.

"Tidak ada kesepakatan atau janji dalam pertemuan itu, hanya memberikan informasi dan diskusi tentang kondisi para pekerja HAM dan masalah HAM di Papua. Dan menurut Ibu Jilani hal ini akan dilaporkan nantinya, termasuk di daerah lainnya yang sempat dikunjunginya," masih menurut Septer.

Daalam kunjungannya Mei kemarin Ms Hina Jilani juga berkesempatan bertandang ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan melakukan pertemuan tertutup selama kurang lebih 1,5 jam dengan Ketua MRP Drs Agus Alue Alua, M.Th dan beberapa anggota lainnya.

Usai pertemuan dalam konferensi persnya Ketua MRP menjelaskan beberapa hal yang menjadi topik pembicaraan mereka, bahwasanya MRP sebagai lembaga cultural sulit dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga kultural, karena masih adanya sejumlah batasan meskipun semuanya sudah tertuang dalam UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua, sehingga bagaimanapun perhatian dari dunia internasional termasuk PBB sangat diharapkan demi implementasi soal kultural tersebut.

Menurutnya, lagi pada dasarnya jilani sudah mengetahui kondisi Papua, jadi mereka hanya menegaskana kembali saja, dan berdiskusi seputar bagaimana MRP mampu menegakkan HAM sesuai dengana kapasitas dan fungsi dan peran yang melekat padanya.

"Dalam menjalankan tugas kami sering mengalami kendala, sering ada batasan atau tantangan. Baik soal pelaksaan Otsus secara menyerluruh maupun dalam menjalankan tugas MRP. Dan kami tentunya berharap agar segala apa yang termuat dalam UU No 21 Tahun 2001 itu dijalankan secara menyeluruh, pemerintah pusat mestinya mendukung ini," papar Alua ketika itu.

Rencana pertemuan Hina Jilani dengan Rektor Universitas Cenderawasih ketika itu sendiri batal, padahal sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa dan Masyarakat Peduli Tanah papua sudah menantinya di pintu Gerbang menuju ke areal kampus di Perumnas III Kelurahan Yabansai.

Pendemo yang di motori oleh Markus Gwijangge itu mengusung beberapa spanduk bertuliskan," Stop genocide of Papua, Welcome Mrs, Hina Jilani,Who Carry Fredom for all The West Papua" serta beberapa tulisan lainnya, dan juga gambar bintang kejora pada selembar kertas manila.

Menurut Markus Gwijangge maksud demontrasi tersebut, dalam rangka memberitahukan tentang pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa baik kasus 16 Maret 2006, serta beberapa kasus-kasus sebelumnya, yang mana aparat melakukan penyisiran-penyisiran ke asrama-asrama mahasiswa dan melakukan penganiayaan-penganiayaan terhadap mahasiswa.

" Kami akan menyampaikan aspirasi kami langsung kepada Ibu Hina Jilani (utusan PBB), tentang pelangaran HAM, yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa,serta beberapa kasus pelanggaran HAM lainnya,"tukasnya.

Siapa sangka lima bulan sudah berlalu, sejak kedatangan Jilani yang hanya sekejap di Papua itu bukannya meninggalkan rasa aman dan tenang kepada para pekerja HAM untuk melakukan kegiatan mereka, justru seperti yang dialami oleh Albert Rumbekwan yang mengaku sudah beberapa bulan terakhir ini merasa di mata – matai.
"Jika melihat isi teror dan waktunya, saya yakin ini semua terkait pertemuan saya dengan Hina," kata Albert kepada SUARA PAPUA pekan kemarin.
Albert bertemu Hina di sebuah hotel di Jayapura, Papua, pada 8 Juni pukul 20.30. Dalam pertemuan yang dimulai sekitar pukul 20.30 itu, dia menceritakan kondisi pembela HAM di Papua.
Setelah pertemuan itu, Albert tidak mengalami apa-apa. Namun, pada 11 Juni tiba-tiba dia mendapat ancaman pembunuhan lewat pesan singkat (SMS). Dalam SMS yang dikirim dari nomor 0813440343xx ini, si pengirim pesan juga menuding Albert telah menggunakan isu HAM untuk menghancurkan Papua. Saat Albert membalas dengan bertanya siapa pengirim pesan itu, dia justru kembali diteror.
Hingga Kamis (14/6) Albert masih menerima teror serupa dari nomor yang sama. Bahkan, hari itu sekitar pukul 08.00 ada tiga mobil diparkir di dekat kantornya dan penumpangnya berteriak-teriak meminta Albert keluar. Karena tidak ditanggapi, penumpang mobil itu lalu diam dan pura-pura baca koran. Namun, saat mobil Komnas HAM Papua keluar sekitar pukul 16.00, mereka membuntutinya.
Sepekan kemudian Albert juga menerima telepon dari nomor ponsel yang sama untuk bertemu di sebuah hotel di Papua pada pukul 19.00. Namun, dia tidak memenuhinya. "Setelah menerima teror pertama, saya langsung menceritakan ke Hina dan dia melaporkannya ke Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto sehingga saya dikawal," kata Albert yang sampai sekarang tetap beraktivitas normal.
Bukan hanya itu, serangkaian terror dan isu – isu yang meresahkan masyarakat juga terus dihembuskan ke khalayak ramai, dan Short Massage Sending (SMS) merupakan salah satu sarana ampuh yang di pakai, karena dengan memanfaatkan ketakutan masyarakat sehingga terjadilah SMS berantai menyampaikan pesan – pesan terror dan ancaman bukan hanya kepada para pekerja HAM namun juga kepada masyarakat banyak.

Mungkinkah seperti yang di sinyalir oleh para aktivis LSM dengan menganalisa pola dan modusnya tengah di susun sebuah tragedy kemanusiaan dengan penghilangan aktor – aktor yang getol menyuarakan penegakan HAM dan demokrasi di Papua yang sudah dicanangkan sebagai Tanah Damai ? (Walhamri Wahid/berbagai sumber)

Tidak ada komentar: